JAKARTA – Kapal Landing Craft Transport (LCT) Self Propelled Oil Barge (SPOB) milik PT Mayon tenggelam di perairan Tanah Kuning, Bulungan ketika hendak menuju Pelabuhan Jeti PT. KAI Pendadak Desa Mangkupadi pada Jumat 1 Maret 2024 sekitar pukul 18.00 Wita.

Manager Kampanye Pesisir dan Laut WALHI, Parid Ridwanuddin pun menyinggung terkait potensi pencemaran lingkungan di perairan Indonesia yang terus berulang sejak tahun 1999 hingga saat ini, sebagai kejahatan lingkungan.

“Tumpahan minyak di Indonesia sering terjadi dan dianggap sebagai suatu kejahatan lingkungan. Itu dianggap pencemaran biasa, padahal dampak dari pencemaran minyak ini itu jangka panjang,” kata Parid dalam keterangannya pada Selasa 5 Maret 2024.

Ia pun menjelaskan bahwa dampak panjang tersebut sebelumnya pernah dibahas oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam sebuah diskusi pada tahun 2021 yang membahas terkait dengan pencemaran lingkungan di Teluk Karawang, Jawa Barat.

“Jadi ada ahli dari LIPI Ahli Oceanography dia menyebut bahwa dalam 10 tahun minyak yang tumpah itu nggak bisa hilang pasti dia akan mengendap misalnya di ekosistem essentialnya yang ada di pesisir laut, misalnya terumbu karang, mangrove, lalu di pasir laut,” katanya.

Parid menyebut bahwa minyak tersebut akan terus menempel dan membutuhkan waktu 10 tahun lebih bahkan puluhan tahun untuk kembali pulih.

Perusahaan pencemar, kata dia, juga harus bertanggungjawab dengan menghitung berapa banyak nelayan yang terdampak karena menggantungkan hidupnya di wilayah perairan tersebut.

“Ini perlu dicek karena ini nanti hubungannya dengan kewajiban perusahaan pencemar PT Mayon. Kalau berdasarkan PP 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim itu dia harus melakukan sejumlah hal, ada sanksinya,” lanjutnya.

Ia mengatakan bahwa pertama yaitu ada sanksi administratif, yaitu pemerintah memberikan jangka waktu kepada perusahaan pencemar untuk menyelesaikan pencemaran tersebut.

“Misalnya di perusahaan pada PT Mayon itu bisa diperiksa sanksi administratif oleh pemerintah, tapi itu ada batas waktu, di Pasal 37 itu disebut ada peringatan tertulis sebanyak 3 kali untuk jangka waktu 10 hari,” kata dia.

Setelah itu, lanjutnya, perusahaan pencemar juga harus segera melakukan penghitungan luasan terdampak, berapa liter minyak yang tumpah, berapa kerugian lingkungan yang ditimbulkan terhadap ekosistem terumbu karang hingga mangrove.

Pemilik perusahaan kapal-kapal yang mengangkut muatan minyak juga memiliki kewajiban untuk mengganti kerugian pihak ketiga yang disebabkan oleh pencemaran.

“Nah jadi sudah ada hitungan itu nanti harus mengganti kerugian, misalnya pariwisata. Jadi karena ini tahap awal penting dilakukan penghitungan dulu,” lanjutnya.

Dalam kasus tersebut, menurutnya pihak kepolisian terutama Polairud Polda Kaltara harus memastikan bahwa proses investigasi terkait dengan adanya pencemaran laut dijalankan oleh Dinas Lingkungan Hidup.

“Polisi juga harus memastikan perusahaan ini benar benar menjalankan tanggungjawab,” kata Parid.

Selain itu, ia mengatakan bahwa Dinas Lingkungan Hidup Kalimantan Utara juga bisa mengambil proses gugatan perdata hingga pidana.

“Bisa perdata atau juga bisa pidana, bisa dituntut pidana lingkungan. Kalau berdasarkan Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Nomor 32 tahun 2009 itu sebetulnya ada kewajiban untuk memulihkan,” kata Parid.

Sementara itu, ia mengatakan bahwa berdasarkan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Pasal 73 terdapat ketentuan pidana.

“Misalnya jika terjadi kerusakan yang dimaksud pada ayat 1 karena kelalaian dipidana paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar, itu pidana lingkungan yang bisa digunakan,” kata dia.

Kemudian ada regulasi yang digunakan terkait dengan pencemaran lingkungan seperti UU Perlindungan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009, UU Pelayaran Nomor 17 tahun 2008.

Lalu ada, PP 21 Tahun 2010, PP 10 tentang Pengendalian Pencemaran Laut, PP 18 Tahun 1999 tentang Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dan lainnya.

“Tapi intinya ada kewajiban perusahaan pencemar itu untuk segera mengganti kerugian dan termasuk menghitung berapa luas dampaknya,” ujarnya.

Sebelumnya, Kapal Landing Craft Transport (LCT) Self Propelled Oil Barge (SPOB) milik PT Mayon tenggelam di perairan Tanah Kuning, Bulungan ketika hendak menuju Pelabuhan Jeti PT. KAI Pendadak Desa Mangkupadi pada Jumat 1 Maret 2024, sekitar pukul 18.00 Wita.

Pada jarak sekitar 500 meter dari pelabuhan, LCT SPOB Mayon yang membawa lima anak buah kapal (ABK) itu miring akibat angin kencang dan gelombang tinggi, kemudian karam.

Dirpolairud Polda Kaltara, Kombes Bambang Wiriawan mengatakan bahwa dalam perjalanannya, Kapal LCT SPOB Mayon memuat BBM jenis solar.

“Saat melakukan pengecekan ke TKP kami terkendala cuaca karena gelombang tinggi mencapai 2 hingga 3 meter,” kata Bambang dalam keterangannya pada Minggu 3 Maret 2024.

Lebih lanjut, ia mengatakan jika pihak kepolisian kemudian meminta keterangan terhadap nakhoda Kapal LCT SPOB Mayon. Nakhoda, kata dia, mengakui mendapat cuaca buruk dan gelombang tinggi sehingga kapal miring dan air masuk ke dalam kapal.

“Saat ini penyelidikan dan pemeriksaan awal dilakukan penyidik Tipidter Polresta Bulungan. Sedangkan sesuai Pasal 5 Permenhub No. 6 Tahun 2020, untuk kewenangan pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal dilakukan Syahbandar,” ujarnya. (*)