
Sejak kapan diksi “Rakyat Jelata” itu sebuah penghinaan? Bukankah sebutan itu sebagai kata ganti rakyat Indonesia kebanyakan yang hidup sederhana? Mengapa framing yang dibangun seolah wakil rakyat telah menghina rakyatnya. Tuduhan itu dialamatkan kepada Deddy Sitorus, politisi PDI Perjuangan. Menggunakan potongan video durasi 20 detik. Apakah ini sebuah operasi pembungkaman? Mari kita analisa.
Nama Deddy Sitorus mencuat sebagai salah satu politisi yang dituduh menyulut kemarahan publik. Bukan karena aksi joged. Namun dia dituding arogan. Karena menganggap wakil rakyat lebih tinggi derajatnya dari rakyat jelata.
Dari mana tuduhan jahat itu bermula? Itu semua berasal dari video talkshow Metro TV yang terjadi pada 20 Oktober 2024. Deddy Sitorus diundang sebagai narasumber. Saat Ia mendapat giliran ditanya, si presenter melontarkan kalimat pembuka kira-kira begini: “Bagaimana ini DPR, gaji dan tunjangan gila-gilaan. Sementara rakyat masih rendah.’’ Pertanyaan tendensius. Mengarah fait a comply. Presenter seperti ingin memancing reaksi dari narasumbernya. Agar talkshow berjalan menarik dan seru. Tapi Deddy Sitorus tidak terjebak.
Nada suaranya meninggi. Ia merasa tidak nyaman dengan kalimat pengantar si presenter dan langsung merespon: “Kok, Anda membandingkan (gaji) DPR dengan rakyat jelata. Tukang becak atau gaji UMR. Itu kan sesat logika,’’ potong Deddy.
Bagi orang berpendidikan tentu faham. Bahwa untuk membandingkan sesuatu itu ada sejumlah syarat. Diantaranya, instrumen, parameter, indikator, logika dan metodologi.
Bagi orang yang bernalar, apa yang dilakukan oleh host Metro TV itu jelas upaya provokasi dan adu domba telanjang. Sebab DPR adalah lembaga tinggi negara. Logikanya, kalau mau dibandingkan tentu dengan sesama lembaga tinggi negara lainnya. Seperti: BPK, MK, Presiden/Wapres, DPD dan lainnya. Yang “hak keuangannya” diatur oleh UU dan Peraturan Menteri Keuangan.
Terjadi adu argument antara presenter dan Deddy Sitorus. pun protes. Ia mengatakan bahwa membandingkan gaji DPR dengan UMR tidak apple to apple. Diluar standar metodologi perbandingan.
Jangankan dengan DPR yang merupakan lembaga tinggi negara, membandingkan gaji Bupati-Walikota dengan UMR saja, sudah pasti berbeda. Perbedaan itu diatur dalam UU dan Peraturan yang mengatur keuangan negara.
Contoh lagi yang tidak logis tapi sejenis. Misalnya membandingkan gaji Dirut/CEO diperusahaan dengan petugas front office. Sekurang kerjaan apa Anda sampai membandingkan itu kalau bukan bermaksud memprovokasi??
Perdebatan itulah yang dipotong 20 detik. Lalu di framing. Bukan lagi perdebatan tentang perbandingan gaji. Namun berubah menjadi isu provokatif. Soal derajat atau status DPR dengan rakyat jelata?
Padahal jika ditonton utuh talkshow itu yang durasinya 1,5 jam sudah sangat jelas. Bahwa Deddy Sitorus mempersoalkan provokasi host Metro TV. Sama sekali tidak ada pernyataan yang terkesan menganggap DPR atau dirinya lebih tinggi derajat atau statusnya dibanding rakyat kebanyakan.
Pertanyaan berikutnya. Sejak kapan diksi “rakyat jelata” menjadi sebuah penghinaan? Istilah “rakyat jelata” berarti rakyat biasa. Yaitu masyarakat umum yang hidup sederhana. Jadi, rakyat jelata adalah rakyat kebanyakan (orang kecil, orang biasa, masyarakat umum).
Menariknya, jika ditelaah lebih jauh, metode yang digunakan untuk menyerang Deddy Sitorus ini mirip yang dialami Ahok dimasa lalu. Dimana videonya dipotong. Dibuat narasi penistaan lalu dibenturkan dengan penganut agama tertentu.
Untuk kasus Ahok kita mahfum. Kendati cara-cara jahat seperti itu sangat melukai demokrasi. Kasus tersebut muncul menjelang kontestasi Pilkada Jakarta. Potongan video itu ditarget untuk menyerang Ahok agar popularitasnya turun.
Yang membingungkan mengapa Deddy Sitorus yang menjadi target. Apakah Ia menakutkan hingga harus dimatikan. Sebenarnya, di jagad politik Indonesia, kiprah Deddy Sitorus terbilang baru. Ia new comer. Tidak sepopuler kompatriotnya Adian Napitupulu misalnya. Atau Masinton Pasaribu. Namanya mulai muncul dan dikenal luas ketika berhasil meraih kursi legislatif mewakili Kalimantan Utara (Kaltara) di Pemilu 2019. Ibarat klub sepakbola, Kaltara hanyalah sebuah klub promosi ke divisi utama. Provinsi pemekaran yang tidak sestrategis provinsi di Jawa, Sumatera atau Sulawesi. Pemilihnya sedikit. Jauh dari Jakarta pula.
Mungkin latar belakang Deddy Sitorus yang malang melintang sebagai aktivis lingkungan membuatnya begitu menonjol di Senayan. Pengalamannya mengadvokasi rakyat selama aktif di Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) membuatnya matang.
Idiologi kerakyatannya pun sangat kuat. Hal itu karena sejak mahasiswa dan aktif di WALHI banyak mengadvokasi kasus perusakan lingkungan yang dilakukan korporasi. Mungkin itu yang membuat urat takutnya putus. Pernyataannya selalu kritis. Terutama kepada mantan penguasa yang dinilainya telah merusak demokrasi Indonesia.
Lantas siapa yang memaksakan logika publik bahwa kata rakyat jelata adalah sebuah penghinaan? Sudah tentu kelompok yang sengaja memotong video itu menjadi 20 detik agar kehilangan konteksnya. Lalu menyebarkannya dengan kalimat menghasut untuk menyulut kebencian dan kemarahan kepada Deddy Sitorus.
Siapa kah mereka? Tentu saja orang yang tidak suka dengan sikap kritis dan keberanian Deddy Sitorus membuka kepalsuan (keluarga) mantan penguasa kepada publik di media, media sosial dan di DPR. Ohh… Kamu Ketahuan. (*)