Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan hari Sabtu, tanggal 13 Juli tahun 2024 sebagai hari pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Umum anggota DPRD Kota Tarakan Daerah Pemilihan Kota Tarakan 1.
Penetapan hari pemungutan suara tersebut merupakan tindak lanjut Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor : 226-01-17-24/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024 yang dibacakan pada tanggal 6 Juni 2024, di mana salah satu amar putusannya adalah : “Memerintahkan KPU, in casu KPU Kota Tarakan untuk melaksanakan pemungutan suara ulang hanya untuk 1 (satu) jenis surat suara, yaitu Surat Suara DPRD Kabupaten/Kota dalam pemilihan calon anggota DPRD Kota Tarakan Dapil Kota Tarakan 1 tanpa mengikutsertakan EH sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak Putusan a quo diucapkan dan menetapkan perolehan suara hasil pemilihan calon anggota DPRD Kota Tarakan Dapil Kota Tarakan 1 tanpa perlu melaporkan kepada Mahkamah”.
Putusan MK ini sangat mengejutkan para pihak (partai politik) dan masyarakat Kota Tarakan, khususnya di wilayah Kecamatan Tarakan Tengah yang merupakan Daerah Pemilihan Kota Tarakan 1. Partai politik beserta para calonnya, harus kembali berjuang untuk meyakinkan dan memenangkan hati para pemilih. Bagi KPU, perintah untuk melaksanakan PSU yang meliputi 194 TPS di Dapil Kota Tarakan 1 merupakan sebuah tantangan dan beban kerja yang cukup berat khususnya bagi KPU Kota Tarakan, mengingat pada waktu yang bersamaan sedang mempersiapkan diri menjelang tahapan pencalonan dalam pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tarakan yang akan dilaksanakan pada bulan November 2024.
Sebenarnya kasus yang setara (tapi tidak sama), sudah pernah terjadi di dalam Pemilihan Kepala Daerah, yaitu dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sabu Raijua (Provinsi NTT) pada tahun 2020. Di mana melalui putusan No. 135/PHP.BUP-XIX/2021 Mahkamah Konstitusi memerintahkan KPU untuk melakukan pemungutan suara ulang dengan tidak mengikutsertakan satu pasangan calon yang didiskualifikasi karena terbukti tidak memenuhi syarat sebagai calon (salah satu calon : berkewarganegaraan ganda). Kedua kasus tersebut baik Pemilihan Umum tahun 2024 di Kota Tarakan maupun Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati tahun 2020 di Kabupaten Sabu Raijua, penyebabnya adalah karena celah yang terdapat di dalam tahapan pemenuhan dokumen persyaratan bakal calon.
Tinjauan Terhadap Persyaratan Bakal Calon Anggota DPRD Yang Berkaitan Dengan Tidak Pernah/Mantan Terpidana
Undang-undang Pemilu dan Peraturan KPU, telah mengatur secara tegas persyaratan bakal calon anggota DPR dan DPRD, salah satunya adalah persyaratan yang berkaitan dengan status tidak pernah dipidana ataupun mantan terpidana. Di dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum ditegaskan bahwa salah satu persyaratan seorang calon anggota DPR dan DPRD adalah : “ tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”. Kemudian di dalam Peraturan KPU No. 10 Tahun 2023 Tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, pasal 11 ayat (1) huruf g mensyaratkan : “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa, bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana, dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang- ulang”.
Kemudian di dalam ayat (5), dijelaskan bahwa : “Persyaratan telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, terhitung sejak tanggal selesai menjalani masa pidananya sehingga tidak mempunyai hubungan secara teknis dan administratif dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, dan terhitung sampai dengan Hari terakhir masa pengajuan Bakal Calon”.
Bagi bakal calon yang berstatus tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, harus melampirkan surat keterangan dari pengadilan negeri di wilayah hukum tempat tinggal Bakal Calon (Pasal 12 ayat 2, PKPU 10/2023). Kemudian pasal 18 mengatur : “Bakal Calon yang memiliki status sebagai mantan terpidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b angka 11 melalui Partai Politik Peserta Pemilu harus menyerahkan : a. surat keterangan dari kepala lembaga pemasyarakatan dan/atau kepala balai pemasyarakatan yang menerangkan bahwa Bakal Calon yang bersangkutan telah selesai menjalani masa pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang sehingga tidak ada lagi hubungan secara teknis dan administratif dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia; b. salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; dan c. bukti pernyataan yang memuat latar belakang jati diri yang bersangkutan sebagai mantan terpidana, jenis tindak pidananya, yang diumumkan melalui media massa”.
Ketentuan pasal 12 ayat (2) PKPU No.10/2023 yang mensyaratkan surat keterangan dari pengadilan negeri di wilayah hukum tempat tinggal bakal calon, ternyata memiliki celah yang berpotensi dimanfaatkan oleh bakal calon. Kebijakan/prosedur di pengadilan negeri yang memberi keterangan status seseorang sebagai tidak pernah dipidana hanya berdasarkan data register yang tercatat di pengadilan negeri tersebut, memungkinkan seseorang yang sebenarnya pernah diputuskan bersalah dan menjadi terpidana oleh pengadilan negeri di wilayah hukum lainnya, mendapatkan surat keterangan dengan status tidak pernah dipidana.
Dalam penyusunan Daftar Calon Sementara (DCS) serta Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPR dan DPRD, sebenarnya KPU melalui PKPU No. 10/2023 telah mengatur mekanisme pengumuman, tanggapan masyarakat dan tindak lanjutnya yang diatur dalam pasal 70-75 (untuk tahapan DCS) dan pasal 85-87 (untuk tahapan DCT). Namun, masa pengumuman dan tanggapan masyarakat yang telah disediakan, relatif jarang diakses dan dimanfaatkan oleh publik. Padahal jika terdapat tanggapan masyarakat, akan menjadi masukan atau dasar bagi KPU untuk melakukan klarifikasi sebagaimana diatur di dalam PKPU No. 10/2023 pasal 64 ayat (1) bahwa “Dalam hal terdapat keraguan terhadap dokumen persyaratan administrasi Bakal Calon, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dapat melakukan klarifikasi kepada instansi yang berwenang”. Jika seluruh dokumen persyaratan bakal calon berdasarkan hasil pemeriksaan administrasi telah dinyatakan sesuai dengan kriteria dan indikator dalam pedoman teknis, serta tidak ada masukan atau tanggapan masyarakat, maka KPU akan menetapkan status persyaratan bakal calon adalah Memenuhi Syarat (MS) dan akan ditetapkan dalam Daftar Calon Sementara (DCS) dan/atau Daftar Calon Tetap (DCT).
Adanya pemungutan suara ulang pasca putusan Mahkamah Konstitusi, harus dijadikan pelajaran yang sangat berharga bagi para pihak, sehingga dapat dilakukan perbaikan khususnya dalam mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah yang akan dilaksanakan pada bulan November tahun 2024. Beberapa cacatan yang perlu menjadi perhatian para pihak antara lain :
Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu
KPU telah menerbitkan peraturan maupun pedoman teknis yang mengatur mekanisme pencalonan dalam pemilihan umum. Dalam PKPU 10/2023 Pasal 11 ayat (1) huruf g yang terkait dengan batasan “diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”, masih sering menjadi perdebatan apakah mengacu pada lamanya ancaman hukuman yang tercantum dalam pasal undang-undang yang dijadikan dasar penuntutan, ataukah mengacu pada lamanya tuntutan pidana yang diajukan oleh jaksa penuntut. Begitu juga sifat ancaman dalam pasal-pasal yang digunakan sebagai dasar penuntutan yang angkanya bersifat interval, misalkan ada pasal yang mengatur ancaman pidana yang berbunyi “paling singkat 4 tahun, paling lama 20 tahun”, sementara jaksa penuntut dalam kasus tersebut menuntut dengan pidana 4 tahun (di bawah 5 tahun). Hal seperti ini sebaiknya dipertegas dalam pedoman teknis pencalonan, yang biasanya sebelum menetapkan, KPU berkoordinasi/sinkronisasi dengan Kementerian Hukum dan HAM atau Mahkamah Agung. KPU dan Bawaslu perlu berkolaborasi untuk mencari cara yang efektif dalam mendorong partisipasi publik memberi masukan/tanggapan pada tahapan krusial.
Partai Politik dan Calon
Dalam masa perekrutan dan pencalonan, Partai Politik harus menyiapkan waktu khusus untuk melakukan pengecekan dokumen persyaratan bakal calon sebelum diajukan dalam pendaftaran ke KPU. Parpol juga harus lebih maksimal untuk memanfaatkan jasa pelayanan konsultasi yang disediakan oleh KPU melalui help desk. Begitu juga bakal calon, dituntut kejujurannya dalam menyiapkan dan menyampaikan dokumen persyaratan pencalonannya.
Kepolisian dan Pengadilan Negeri
Kewajiban setiap bakal calon sebelum mendapatkan surat keterangan dari pengadilan negeri yang harus melampirkan surat keterangan catatan kepolisian, seharusnya menjadi satu mekanisme penapisan dan penyaringan yang efektif untuk memastikan status seseorang sebagai warga yang tidak pernah dipidana atau justru sebagai mantan terpidana. Ketersediaan sistem informasi yang sudah sangat canggih pada hampir semua instansi, semestinya akan sangat memudahkan untuk mencari informasi dan kemudian memastikan status seseorang sebagai tidak pernah, sedang atau mantan terpidana. Jika belum ada mekanisme yang mengatur, barangkali perlu menjadi bahan pembahasan bersama antara KPU, Bawaslu, Polri dan Mahkamah Agung untuk membuat sistem atau prosedur dalam penelusuran dan penetapan status seseorang sebagai tidak pernah terpidana, sedang menjadi narapidana atau mantan terpidana di mana pun kasus hukumnya yang dapat diterbitkan oleh setiap pengadilan negeri di wilayah hukum domisili bakal calon.
Masyarakat Pemilih
Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah adalah sebuah mekanisme yang dilakukan untuk memilih perwakilan dan pemimpin yang akan menjalankan roda pemerintahan yang tujuan akhirnya adalah untuk tercapainya kemakmuran seluruh rakyat. Sehingga harus dipilih wakil rakyat dan pemimpin yang benar-benar berkualitas dan amanah. KPU dalam tahap-tahap krusial seperti pencalonan sudah menempatkan jadwal khusus untuk mengumumkan kepada publik yang diikuti dengan masa tanggapan masyarakat. Masyarakat pemilih harus benar-benar memanfaatkan masa ini untuk melihat rekam sejak dan bahkan memberi tanggapan/masukan sejak awal jika mengetahui atau terdapat sinyalemen bahwa dokumen persyaratan bakal calon tertentu diragukan keabsahannya, untuk digunakan sebagai dasar bagi Bawaslu dan/atau KPU menindaklanjutinya, sehingga jika terbukti sejak awal tidak ditetapkan, dihapus atau dapat dicoret dalam Daftar Calon Tetap (DCT).
Semoga PSU tahun 2024 di Kota Tarakan ini dapat berjalan secara Luber dan Jurdil, lancar dan damai, serta dapat dijadikan sebagai pelajaran berharga bagi para pihak dan kita semua warga Kota Tarakan, untuk pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan di masa mendatang yang lebih baik.
Tarakan, 21 Juni 2024
(Teguh Dwi Subagyo – Mantan Penyelenggara Pemilu).