TARAKAN – Akademisi Hukum, Universitas Borneo Tarakan (UBT), Prof Yahya Ahmad Zein turut angkat bicara terkait putusan sidang Bawaslu Tarakan kepada caleg partai Golkar, dapil Tarakan tengah inisial EH yang dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai Daftar calon tetap (DCT). Yahya menilai, putusan ini merupakan non executable atau tidak bisa dieksekusi.
Menurutnya, putusan ini tidak bisa dieksekusi lantaran tahapan proses penetapan DCT telah lewat dan jika dilakukan pembatalan maka akan mengganggu proses yang sudah berjalan.
“Pertanyaannya putusan ini bisa dilaksanakan atau tidak?. Putusan ini sangat sulit dilaksanakan karena untuk proses DCT sudah berlangsung dan pembatalan ini akan berdampak sangat luas,” ujar Prof Yahya Ahmad Zein saat diwawancarai, Selasa, 02 April 2024.
Apabila Surat Keputusan (SK) DCT dibatalkan, kata Yahya, caleg EH seharusnya tidak bisa ikut Pemilu, maka secara otomatis suara masyarakat yang memilih EH dianggap tidak ada alias tidak sah.
“Otomatis yang bersangkutan harusnya tidak bisa ikut pemilu. Publik sudah meletakkan suaranya. Jadi dia complicated sebenarnya. Maka suara publik yang memilih dia seharusnya tidak ada, kan begitu logika hukumnya,” tuturnya.
Dekan Fakultas Hukum UBT ini menguraikan, pembatalan EH sebagai caleg terpilih tidak bisa dilakukan. Sebab, norma pembatalan penetapan calon mengacu pada pasal 280 dan pasal 284 Undang-Undang 7 tahun 2017, hanya terkait pelanggaran selama masa kampanye.
“Pasal 285 itu jelas, ‘putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai pasal 280 dan 284’ itu bisa digunakan sebagai dasar KPU untuk membatalkan nama calon anggota atau pembatalan penetapan terkait dengan pelanggaran seseorang. Pelanggarannya itu sudah ada di pasal 280 dan 284,” sebutnya.
Karena itu, kata Yahya, tidak ada tindak pidana pemilu yang bisa dijadikan dasar melakukan pembatalan penetapan sesuai pasal 280 dan 284.
“Terhadap putusan Bawaslu itu, sikap KPU mau melaksanakan atau nggak?. Walaupun ada beberapa ketentuan jika KPU tidak melaksanakan bisa dikenakan kode etik,” tanyanya.
Ia pun lantas mempertanyakan bagaimana cara melaksanakan putusan tersebut, sebab, menurutnya tidak ada kewenangan Bawaslu membatalkan penetapan calon. Hasil koreksi Bawaslu RI pun dianggap tidak berhubungan dengan pembatalan penetapan calon.
“Dalam putusan pengadilan saja ada yang namanya non executable alias tidak bisa dieksekusi. Karena kalau pun dia dieksekusi bagaimana pola pelaksanaan putusannya?. Jadi putusan Bawaslu itu bukan untuk membatalkan. Putusan yang dikuatkan Bawaslu RI itu juga tidak terkorelasi dengan pembatalan,” katanya.
“Karena dia menyebutkan terlapor tidak memenuhi syarat sebagai DCT, terus konsekuensinya bagaimana?. Putusan Bawaslu itu out of date. Sudah lewat waktunya. Bagaimana cara melaksanakannya. Sulit untuk dilaksanakan,” ucapnya.
Karena itu ia membeberkan, saat ini tidak ada landasan hukum untuk dilakukan pembatalan penetapan calon. Perkara EH ini pun seharusnya masuk di ranah sengketa proses saat masa pencalonan.
“Yang harus dipahami Bawaslu perkara EH ini masuk di ranah sengketa proses, tidak boleh keluar dari itu. Tapi sengketa proses yang telat. Itu harusnya awal-awal pada saat proses pencalonan sebelum dia ditetapkan sebagai DCT, ” jelasnya.
Yahya memaparkan konsekuensi apabila terjadi pembatalan penetapan calon ini bisa berakibat pada perolehan kursi partai. Ia pun mengingatkan agar seluruh pihak, khususnya Bawaslu agar jernih melihat persoalan sehingga bisa memutuskan suatu perkara secara konsekuen.
“Artinya partai bisa tidak dapat kursi. Ini juga bisa menganggu sistem demokrasi kita. Makanya dalam sistem pemilu kita ada tahapan-tahapan yang harus bisa betul-betul dilaksanakan. Hati-hati mengkoreksi tahapan yang diawal, sementara sudah terikat dengan ketentuan tahapan yang lain,” imbuhnya.”
Jadi dalam sistem pemilu kita ini jadi pembelajaran untuk KPU, Bawaslu, untuk publik juga. Bawaslu juga harus melihat dengan jernih setiap persoalan yang ada. Jangan gampang memutuskan tapi tidak tahu konsekuensi dari putusan tersebut. Itu penting,” tutupnya. (*)