TARAKAN – Sejumlah tempat pemungutan suara (TPS) Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang digelar Rabu (14/2) diusulkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Tarakan untuk dilakukan pemungutan suara ulang (PSU). Merespons hal itu, Dekan Fakultas Hukum, Universitas Borneo Tarakan (UBT), Prof. Yahya Ahmad Zein, S.H, M.H, mengingatkan PSU bisa saja menguntungkan peserta pemilu, tak terkecuali calon legislatif (caleg) tertentu.
Kata Yahya, dalam sistem pemilu Indonesia memang dimungkinkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang. Kendati begitu, menurutnya, perlu dipahami beberapa syarat untuk dilakukan PSU sesuai Pasal 372, UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. “Di dalam pasal 372 UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu itu memang ada satu tahapan bisa dilakukan pemungutan suara ulang ada beberapa syarat, misalnya bencana alam, atau kerusuhan yang memang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak bisa digunakan atau perhitungan suara tidak dapat dilakukan,” terang Yahya, Senin 19 Februari 2024 malam.
Yahya mencontohkan, sejumlah syarat dan faktor penyebab dilakukan pemungutan suara ulang. Di antaranya, pelaksanaan pemungutan dan perhitungan suara yang tidak sesuai ketentuan. “Pemungutan suara di TPS wajib diulang kalau hasil pengawasan TPS terbukti ada beberapa hal, misalnya karena adanya pembukaan kotak suara dan perhitungan suara itu tidak dilakukan menurut cara sebagaimana yang ditetapkan. Kalau caranya gak pas maka itu bisa jadi salah satu syarat (PSU),” tuturnya.
Kedua, surat suara pemilih dirusak oleh petugas KPPS sehingga surat suara menjadi tidak sah. “Atau petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga akhirnya surat suara itu gak sah. Jadi kalau misalnya ada pengerusakan terkait dengan surat suara, misalnya dia coblos A, tapi dicoblosnya lagi B. Itu kan rusak jadinya,” lanjutnya.
Selain itu, terkait dengan pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik dan tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) atau daftar pemilih tambahan (DPTb), namun memiliki hak pilih, kata Yahya juga bisa menjadi sebab dilakukan PSU. “Selain itu, di Pasal 373 UU 7/2017 itu ada beberapa faktor yang menjadi penyebab pemungutan suara ulang. Jadi faktornya itu, satu, pemungutan suara ulang itu diusulkan oleh KPPS dengan menyebutkan keadaan tertentu yang menyebabkan perlunya dilakukan PSU,” imbuhnya.
Tak kalah penting, Yahya mengatakan sesuai ketentuan aturan pemungutan suara ulang dilakukan paling lama 10 hari setelah pemungutan suara. Ia pun mengingatkan jika pelaksanaan PSU hanya boleh dilakukan satu kali. “Jadi kalau kita pemungutan tanggal 14 tambah 10 hari, berarti paling lama tanggal 24. Artinya PSU tidak boleh melebihi batas waktu itu. Nah pemungutan suara ulang itu juga hanya dilakukan satu kali. Karena ada banyak pertanyaan, bisa gak dilakukan nanti setelah pemungutan suara ulang dilakukan lagi pemungutan suara ulang. Nah itu gak boleh. Hanya satu kali saja,” ungkapnya.
Yahya berpesan kepada Bawaslu bahwa ketika sudah memutuskan rekomendasi untuk dilakukan PSU, maka Bawaslu harus mengawasi proses pemungutan suara ulang secara ketat. “Jadi jangan sampai PSU itu justru menjadi ruang-ruang baru bagi para yang berkompetisi ini untuk melanggar undang-undang. Itu saya kira yang paling penting. Jadi Bawaslu harus komitmen dan konsekuen untuk betul-betul melakukan pengawasan yang ekstra ketat dibanding yang sebelumnya,” tuturnya.
Menurutnya, pengawasan pelaksanaan pemungutan suara ulang secara ketat wajib dilakukan sebab rawan terjadi mobilisasi pemilih. Sebab, momentum pelaksanaan PSU bisa menjadi kesempatan bagi para kandidat untuk mengejar ketertinggalan suara.
“Jangan lupa, banyak juga orang yang bergantung pada proses pemungutan suara ulang itu maka harus diperhatikan. Jadi publik juga sama-sama kita mengawasi proses ini. Karena jangan sampai PSU ini menjadi ruang tersendiri dijadikan momentum tertentu untuk membalikkan suara atau akan dimanfaatkan oleh partai politik untuk mengejar suara partai politik yang mungkin sebelumnya lebih tinggi dari dia,” lanjutnya.
Kendati begitu, Yahya juga mengingatkan jika pelaksanaan pemungutan suara ulang harus memperhatikan tingkat partisipasi pemilih disamping tetap mengantisipasi terjadinya mobilisasi pemilih. “Pada saat dia PSU maka ada beberapa tantangan yang harus diminimalisir termasuk jumlah pemilih yang akan berkurang. Atau bisa jadi juga dalam konteks tertentu dimana itu sangat menentukan, terjadi mobilisasi pemilih akan bertambah. Dua hal itu harus diperhatikan,” tambahnya.
Terakhir, Yahya berpesan, ketika Bawaslu merekomendasikan pemungutan suara ulang, maka dia bertanggungjawab seobjektif mungkin. Sebab menurutnya, jangan sampai pemungutan suara ulang menimbulkan problematika baru di dalam proses pemilu. “Jadi tidak boleh dilepas ke mekanisme yang ada, jadi harus lebih ekstra. Artinya begini, ketika ada rekomendasi PSU, mekanismenya tidak boleh berhenti sampai disitu. Harus dikawal. Jadi setiap TPS itu harus dikawal sedemikian rupa. Bahkan dari proses sebelum pemilihan sampai setelah pemilihan,” tegasnya. (*/trk)